Ide Besar Lahirkan ‘Dokter Terbang’ untuk Tingkatkan SDM Papua
TP, MIMIKA
Problem akses pelayanan kesehatan, khususnya di pedalaman Papua, misalnya kasus gizi buruk, malaria, stunting, penyakit kulit, serta lainnya kini masih menghantui.
Di era saat ini, bahkan mungkin perubahan zaman, namun wajah Papua belum banyak berubah di mata Maximus Tipagau, sosok pengusaha muda asli Papua.
Berangkat dari situasi dan dinamika hidup yang dialainya, dimana ayah dan ibunya, bahkan kakak kadungnya yang didera sakit hingga meninggal dunia karena tidak mendapat pelayanan dan pertolongan medis.
Kasus demi kasus kematian warga di Intan Jaya, Papua waktu itu menantang Maximus untuk melakukan sesuatu agar masyarakat tertolong melalui pendekatan akses layanan kesehatan.
Lewat sebuah ide yang dicetus untuk mengubah wajah Papua sekaligus meningkatkan SDM masyarakat asli setempat, Maximus melalui Yayasan Somatua menelurkan program dokter terbang (flying doctor).
“Program ini karena Papua nyaris tidak tersentuh rumah sakit pemerintah. Program ini dimulai 2015 lalu, dengan fokus utama menuntaskan masalah gizi buruk di Papua,” ujar Maximus kepada media ini, Jumat (14/7/2023).
Bekerja sama dengan Dr. Lie Augustinus Darmawan, Yayasan Somatuaa yang didirikan Maximus mengawali program dokter terbang dengan memberantas penyakit kurang gizi yang merebak di pedalaman Papua sejak sekian lama.
Meski hanya menggandeng 11 relawan, Maximus dan kawan-kawan bisa kumpulkan uang hingga Rp 500 juta.
Adapun dana tersebut dipakai mendatangkan dokter dari Jakarta dan Jerman untuk memberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat di pedalaman Papua.
“Gizi buruk itu yang terparah karena setelah itu penyakit semua masuk dan tak terobati. Itu yang buat kami ingin ubah. Bertahun-tahun kami tak tersentuh rumah sakit sehingga kami alami gizi buruk,” ungkap Maximus.
Memang medan yang ditempuh untuk ke pedalaman Papua, salah satunya Kabupaten Intan Jaya tak semudah memasuki penjuru nusantara yang lainnya. Belum banyak pesawat komersil yang berkenan mendarat di wilayah tersebut.
Jangankan pesawat mendarat, rumah sakit saja hampir dianggap mitos oleh masyarakat karena belum banyak dibangun di daerah pedalaman.
“Jadi kalau bilang kecewa, ya, saya Maximus kecewa dengan ketimpangan pembangunan yang dari dulu hingga sekarang masih ada. Ini yang gerakan hati saya, sehingga kami patungan dan buat program ini. Kalau andalkan anggota dewan saya tidak yakin bisa maksimal,” serunya.
Maximus yang didukng oleh Dr. Lie sejak memberikan pelayanan kesehatan di beberapa wilayah Papua dengan kondisi geografis serta medan yang sulit, bahkan harus berjalan kaki puluhan kilometer mengjangkau pemukiman masyarakat, ini semua dijalani dengan tulus dan ikhlas.
Tim yang tergabung dalam program dokter terbang mengaku selalu meneguhkan diri untuk berbagi kebaikan kepada mereka yang membutuhkan. Hal ini dilakukan dengan meneguhkan iman dan memegang rasa nasionalisme yang kuat.
“Saya selalu ingat kata-katanya John F. Kennedy, ‘jangan tanya apa yang dapat negara lakukan bagimu, tapi tanyalah apa yang dapat kamu lakukan bagi negaramu,” timpal Dr. Lie.
Lebih lanjut kata Maximus, melalui spirit serta dukungan para dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Maximus merasa terpanggil melayani masyarakat Papua sekaligus mensejahterakan dan merubah Papua untuk lebih maju dan berkembang.
“Saya bukan dokter, tapi saya ingin bantu ubah Papua dari problem kesehatan,” tandasnya.
Meski Maximus kini konsentrasi pada PT Mpaigelah selaku perusahaan support PT Freeport Indonesia, melalui Yayasan Somatua, ia pun terus mengembangkan bidang pariwisata, kesehatan melalui program dokter terbang, pendidikan melalui kontribusi nyata ‘Tomawin’, serta pengembangan pelaku UMKM di Papua.
“Ini semua dilakoni Maximus sang Gladiator Papua, semata ingin mengangkat harkat dan derajat Orang Asli Papua (OAP) agar sejajar dan bisa bersaing dengan masyarakat dari daerah lain. Dan apa yang sudah saya lakukan, juga untuk mendukung program pemerintah,” tandasnya. (voi)