Pater Gabriel Ngga, OFM: Minggu Palma adalah Drama Tentang Diri Kita

MINGGU PALMA - Umat Gereja St.Stefanus Sempan melambaikan daun palma mengawali perarakan Pater Gabriel Ngga,OFM bersama misdinar dan petugas liturgi pada misa Minggu Palma, Minggu (2/4/2023) (FOTO:TP-Tim)

TP,MIMIKA – Minggu Palma merupakan pembuka Pekan Suci bagi umat Katolik di seluruh dunia. Sebab itu Minggu Palma identik dengan daun palma.

Dalam perayaan Minggu Palma, umat Katolik mengenang Yesus ketika memasuki Kota Yerusalem dan disambut meriah penuh suka cita dengan nyanyian dan lambaian daun palma oleh umat.

Dimana Yesus menunggangi keledai yang sarat akan simbol kesederhanaan dan perdamaian, bukan kuda atau gajah yang identik dengan kekuatan.

Di dalam liturgi Minggu Palma pada Minggu (2/4/2023), seperti halnya di Gereja St. Stefanus, Sempan,Timika-Papua Tengah, seluruh ruangan dihiasi dengan ornamen palma dan nuansa serba merah yang bermakna pujian dan kemuliaan, kemenangan dan damai.

Pada misa kedua di Gereja St. Stefaus-Sempan yang dipimpin Pater Gabriel Ngga, OFM (Provincial Fransiskus Duta Damai Papua) diawali prosesi pemberkatan daun palma di halaman sekolah Santa Maria, kemudian diikuti dengan perarakan menuju gereja.

Minggu Palma mengawali Pekan Suci, ini mengingatkan kita akan kerelaan Yesus memasuki Kota Yerusalem meski Dia tahu akan menyerahkan nyawa-Nya bagi kita umatnya.

“Di satu pihak kita merayakannya dengan begitu bergembira, suka cita, tapi di lain pihak juga kita merayakannya degan sedih,” demikian Pater Gabriel mengawali khotbahnya.

Dikatakannya, 2.000 tahun yang lalu, Yesus disambut dengan begitu gembira memasuki Yerusalem, dielukan sebagai raja, sebagai peyelamat, tapi kenapa kemudian dia justeru ditangkap, dicap sebagai penjahat, diadili bahkan disalibkan.

“Apakah mereka yang melakukannya itu orang berbeda?, tidak! Sebagian besar dari mereka adalah orang yang sama, biasa sebelumnya memuliakan Yesus sebagai raja mereka, tetapi beberapa hari kemudian justeru melihat Yesus sebagai penjahat, penghujat,” serunya.

Hal ini kata Pater Gabriel terus berlanjut, tidak hanya 2.000 tahun yang lalu, tapi sampai saat ini.

Kita menyebut Yesus sebagai raja kita, tetapi dalam tingkah laku kita selalu menghina, menista, melihat Yesus sebagai Dia yang jahat, yang pantas dicaci maki, bahkan pantas direndahkan karena dosa dan kelemahan kita.

“Ini tidak hanya secara rohani, tapi kita alami dalam situasi sosial di Papua, misalnya, banyak orang datang sebagai yang membawa keamanan, persaudaraan dan membawa kedamaian, tapi bisa jadi orang yang sama itu, dia justeru membuat kekacauan. Kita pun selalu berteriak tanah Papua sebagai tanah damai, sebagai surga kecil yang jatuh ke bumi, tapi sikap dan kelakuan kita justeru sering membuat orang hidup tidak aman, tidak ada persaudaraan, tidak ada keadilan dan tidak ada perdamaian. Ini bisa jadi yang melakukannya juga adalah orang yang sama. Bahkan yang menyebut dirinya yang menjamin keamanan, dan orang yang menegakkan keadilan, tapi bisa jadi  merekalah yang merusak keadilan itu sendiri,” tegasnya.

Kendati itu adalah gambaran hidup kita, maka Minggu Palma adalah drama tentang diri kita sendiri.

“Ada dua aspek dalam hidup kita, aspek positif dan negatif. Namun sebagai pengikut Yesus Kristus, kita diharapkan sungguh berpedoman akan hal itu. Kalau sadar bahwa kita juga pelaku ketidakadilan, pelaku ketidakharmonisan, pencipta konflik di dalam hidup bermasyarakat, maka inilah saatnya kita harus bertobat, membuka hati kita lebar-lebar, membiarkan Yesus Sang  Raja Damai itu masuk dalam diri kita, merajai hidup kita agar seperti Dia yang senantiasi membawa  kebaikan, suka cita, membawa kedamaian dan keadilan,” pesannya.

Dikatakan pula, Yesus yang adalah juru selamat kita, kita patut mencontohi Dia dalam melaksanakan tugasnya sebagai juru selamat atau penyelamat, karena Dia senantiasi setia dan taat pada apa yang menjadi kehendak Bapa-Nya.

“Meski dia mengalami banyak tantangan dan kesulitan seperti yang kita dengar dalam injil (Matius 27:11-54) tentang kisah sengsara yang dilafalkan para lektor, tetapi pada akhirnya Dia menang dan bangkit dari kematian,” kata Pater Gabriel.

Kesetiaan seperti inilah yang diharapkan oleh para pengikut Kristus. Untuk itu kita sebagai pengikut Yesus Kristus, kita diharapkan untuk menyerahkan hidup kita kepada kuasa-Nya, menyerahkan diri sebagai keledai yang rela ditungganggi oleh Yesus, rela dituntun dan dibimbing oleh Yesus menuju Yerusalem.

“Karena apa, karena hanya dalam Dia kita diturunkan kebenaran, hanya dalam Dia kita menemukan jalan-Nya, dan hanya dalam Dia kita menemukan kehidupan. Mari kita sungguh-sungguh melihat diri kita agar kita menjadi tangan-tangan Tuhan, agar kita menjadi orang-orang yang dapat dijadikan oleh Allah sebagai pembawa kedaiaman, kebenaran dan suka cita,” harapnya.

Kalau kita lakukan itu, sambung Pater Gabriel, maka teriakan-teriakan, seruan-seruan seperti Papua tanah damai, Papua sebagai surga kecil yang jatuh ke bumi akan terwujud.

“Mulailah itu dari keluarga kita masing-masing agar keluarga kita sungguh menjadi keluarga dimana Yesus Sang Juru Selamat, Sang Raja Damai bertahta, menuntun, membibing kita. Marilah kita membuka hati, hidup kita, keluarga kita, agar Sang Juru Selamat bertahta dalam hidup kita, keluarga, dan biarkan seluruh hidup kita  sebagai keledai yang ditunggangi Yesus menuju Yerusalem,”pungkasnya.

Suasana misa dimeriahkan dengan lagu-lagu rohani Katolik dari Paduan Suara (PS) Halleluya dan persembahan tarian persembahan dari warga katolik kerukunan Batak. (voi)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This will close in 0 seconds