RD Madya, SCJ: Jumat Agung Lambang Api Kasih, Darah Kristus dan Pengorbanan

SALIB - RD Madya, SCJ melmimpin prosesi perarakan salib pada Misa Jumat Agung di Gereja Katolik St. Stefanus Sempan, Jumat (7/4/2023) (FOTO:TP-EMAN)
TP,MIMIKA – Salah satu rangkaian Misa Jumat Agung adalah pembacaan kisah sengsara Yesus Kristus yang dibawakan dengan nyanyian bernada khusus (Pasio) dan diikuti dengan prosesi penghormatan salib.
Seperti halnya prosesi penghormatan salib oleh ribuan umat katolik saat Misa Jumat Agung yang dipimpin RD Madya, SCJ di Gereja St. Stefanus Sempan, Timika-Papua Tengah pada Jumat (7/4/2023).
Misa dimulai pukul 15.00 WIT diawali mendengarkan kisah sengsara Tuhan kita Yesus Kristus.
“Kesengsaraan sampai pada kematianNya. Drama kematian penyelamat kita yang tidak ditemukan salahnya, tetapi karena hasutan masyarakat yang banyak, Dia mati,” kata Pater Madya mengawali khotbahnya.
Disebutkan, kematian memang membawa kesedihan, hingga beberapa umat sempat bertanya ke Pater Madya.
Pater, pada hari Jumat Agung kita pakai baju warna apa?. Pertanyaan ini lantas ada yang menjawab, ah…,Jumat Agung adalah wafat Tuhan, maka kita pakai baju hitam.
Atas pertanyaan itu, Pater Madya pun menjawab, tidak ada yang atur tentang warna atau jenis pakaian yang dipakai oleh umat pada Jumat Agung.
Tapi, lanjut Pater Madya, yang diatur oleh gereja adalah warna liturgi.
“Apa yang dipakai oleh petugas liturgi, imam, dan warna liturgi pada Jumat Agung adalah merah. Mengapa merah dan bukan hitam? memang dalam sejarah masa lalu, pernah terjadi warna liturgi Jumat Agung itu hitam yang dipakai oleh pastor. Kini warna liturgy Jumat Agung adalah merah, karena melambangkan api kasih, darah Kristus, dan pengorbanan. Bahkan warna liturgi bukan merupakan ketentuan pakaian khusus bagi umat yang menghadiri misa peringatan Yesus wafat di kayu salib,” jelas Pater Madya.
Dikatakan pula, dalam kepercayaan umat Katolik, Jumat Agung adalah hari penting dalam kalender Katolik, karena menandai pekan Paskah dan puncak Pekan Suci.
Jumat Agung merupakan hari berkabung dan refleksi bagi umat Katolik di seluruh dunia untuk mengenang pengorbanan Yesus Kristus dan penderitaannya di kayu salib.
Tidak hanya itu, dalam refleksi lebih mendalam, wafat Yesus yang kita peringati pada hari Jumat Agung bukanlah kematian konyol.
Karena kematianNya sungguh-sungguh membawa keselamatan, maka warnah merah jauh lebih tepat dari pada warnah hitam.
“Karena kematian Yesus bukan karena kekalahan, tapi kematian karena kemenangan. Kemenangan karena kebenaran Yesus Tuhan kita wafat, dan wafatnya membawa harapan akan kebangkitan. Wafat Kristus kita lambangkan dengan salib, dan salib adalah lambang kehidupan,” ungkap Pater Madya.
Mengulik dari bacaan pertama tentang nyanyian hamba Yahwe dalam Perjanjian Lama, dinyatakan hamba Yahwe yang menderita, itu bukan karena kesalahannya, tapi menanggung kesalahan bangsa Israel.
Selanjutnya dengan kacamata perjanjian baru, tentunya hamba Yahwe yang disebutkan Nabi Yesaya mengacu pada pribadi Yesus.
Kemudian dalam bacaan kedua, Santo Paulus menegaskan dalam Yesus adalah Imam Agung, dan Dia menjadi perantara antara Allah dengan manusia.
“Karena Yesus, maka relasi hubungan antara Allah engan mausia tersambung kembali. Melalui Dia-lah, manusia bisa berhubungan dengn Allah, dan bisa diselamatkan, diangkat menjadi anak-anak Allah, seagaimana pada awal penciptaan, manusia diciptakan seturut citra-Nya,” jelas Pater Madya.
Lebih jauh Pater Madya menggarisbawahi tokoh penting yang berperan dalam kisah sengsara Yesus.
Ada tiga tokoh sentral, yaitu Petrus, Pilatus dan Yesus.
Sosok Petrus, ini pas dihubungkan dengan situasi kehidupan di dalam masyarakat kita.
Petrus kla itu tampilan sebagai murid Yesus yang temperamental.
Seperti bacaan liturgi harian pada Rabu lalu, kata Pater Madya, Tuhan Yesus telah memprediksi, salah seorang murid-Nya akan mengkhianati-Nya.
Namun, Petrus mengatakan, Tuhan, aku akan menjaga kamu. Tidak mungkin engkau akan diserahkan ke Imam Agung lalu akan dibunuh.
Lalua Tuhan mengatakan, ‘engkau akan menyerahkan nyawamu?, sebelum ayam berkokok, engkau akan menyagkal aku tiga kali. Dan itu terjadi sebelum perjamuan malam terakhir.
“Dari kisah sengsara itu, petrus seakan-akan tampil. Waktu sedang berdoa di Taman Getzemani menemani Yesus, tampaknya dia (Petrus) membawa pedang,” paparnya.
Petrus tampil mau membela Yesus dengan semagat yang berkobar, dia mau melawan para prajurit yang datang untuk menangkap Yesus. Tapi apa kata Yesus kepadanya, Petrus, kalem, tenang, sarungkanlah pedangmu. Jangan melawan dengan kekerasan pula.
“Memang kandang-kadang muncul dalam masyarakat, ada tokoh-tokoh, ada orang yang mau membela Tuhan-Nya. Kita juga kadang-kadang terprovokasi untuk membela Tuhan kita. Belum lagi ada orang yang mencoba mengkritik agama kita, lalu kita meresa emosi. Tentu kita bisa bayangkan kalau banyak orang berkarakter seperti Petrus, pasti kekacauan yang terjadi,” ungkap Pater Madya.
Lantas sikap Yesus menyerukan, sarungkanlah pedangmu dalam sarungmu, ini menunjukkan karena Tuhanmu bisa membela diriNya, Tuhanmu Tuhan yang kuat.
“Bapak-ibu sekalian, sesuatu yang isu, tentu sangat sensitif di masyarakat, apalagi tentang agama kita, Tuhan kita, tapi kita tidak perlu merasa menjadi pahlawan, melainkan cukup berjuang menjadi orang yang beriman,” seru Pater Madya yang juga Sekretaris Jenderal (Sekjen) Keuskupan Timika.
Masih tentang sosok Petrus, ketika Yesus diadili, semula dia tampil garang, namun ketika seorang wanita bertanya kepadanya (Petrus), ‘Kamu kan salah satu dari murid Yesus, Petrus katakan ‘bukan’ sampai tiga kali, dan ini terjadi seperti apa yang dikatakan Yesus.
“Petrus, demikian dia manusia lemah, berdosa, menyangkal, tetapi dia dipilih oleh Tuhan karena teguhnya kepercayaan imannya, meskipun berdosa,” ungkapnya.
Selanjutnya, tokoh berikut adalah Pilatus, penguasa perwakilan Romawi kala itu.
Pilatus pada sidang pengadilan, dia berkali-kali katakan, aku tidak menemukan kesalahan apapun padaNya, maka harus dibebaskan.
Sayangnya, meski dia punya kuasa, dia kalah dengan hasutan rakyat yang telah dikobarkan amarah dan kebenciannya terhadap pribadi Yesus.
“Ini jadi refleksi bagi kita, bahwa kebenaran yang kita miliki, terkadang tergoyahkan kalau ada suatu provokasi dari luar,begitu juga keyakinan kita yang teguh kadang menjadi goyah oleh suara mayoritas.
Tapi apa yang terjadi, kita diajak, sebenarnya Tuhan Yesus dalam sabdanya, ‘barang siapa bertekun, setia, dia akan bersama aku di surga, akan mencapai keselamatan,” kata Pater Madya.
Perayaan Jumat Agung adalah kita mengenangkan Tuhan Yesus, manusia seperti kita yang mengalami penderitaan.
“Yang menderita adalah manusia. Kemanusiaan Tuhan Yesus. Kita yang percaya bahwa diri Yesus adalah kodrat Allah dan kodrat manusia, Dia sungguh Allah, sungguh manusia. Manusia Yesus menderita bahkan sampai pada kematian. Dia adalah sungguh-sungguh Allah, Karena sebagai Allah dengan kekuatanNya sendiri, pada hari ketiga setelah kematian Dia bangkit dan dibangkitkan oleh Bapa-Nya,” ujarnya.
Oleh karena itu, sambung Pater Madya, kematian Kristus membawa kemenangan bagi Kristus sendiri, memenangkan kita dari dosa-dosa kita, agar hidup kita selaras dengan hidupnya sendiri untuk mencapai kebangkitan, untuk mencapai kemuliaan, maka salib adalah jalanNya.
“Kita tidak bisa menyangkal, tidak bisa menghindar dari jalan salib kehidupan kita. Kita dikuatkan dalam perjalanan hidup kita, meskipun ada salib-salib kecil juga besar, karena Tuhan telah mengalami dan menyertai kita semua,” demikian Pater Madya. (voi)